Sabtu, 05 Mei 2012

Bagaimana tulisan HALAL dalam aspek hukum ekonomi


PENDAHULUAN

 Di Indonesia sebagian besar beragama islam, dan di agam islam kita di haruskan memakan dan minuman yang ada slogan halal nya. Dikarenakan belum tentu semua makanan dan minuman yang ada di dunia ini sudah di halalkan. Banyak makanan dan minuman yang masih bisa kita bilang haram.


PEMBAHASAN


JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan bahwa sebanyak 54 persen makanan yang beredar di pasaran ternyata tidak halal. Sebagian besar produk yang beredar hanya mencantumkan label halal namun belum memiliki sertifikat halal. Banyak produsen makanan yang secara pribadi menempekan tulisan halal tanpa seizing MUI.
      
"Dari 54 persen produk makanan yang beredar tidak sesuai dengan persyaratan labelisasi halal," ujar Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, Makanan dan Kosmetika (LPPOM) MUI,

Menurut Lukman salah satu persyaratan produk halal, selain memiliki label harus memiliki sertifikat halal. Maraknya produk berlabel halal bodong tersebut, lanjut Lukman, dinilai mengkhawatirkan. Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah diminta untuk melakukan penindakan. "Harusnya pemerintah lewat BPOM gencar melakukan pengawasan dalam rangka penegakkan hukum," jelasnya.

Atas adanya fakta tersebut, Lukman juga meminta kepada masyarakat sebagai konsumen harus teliti sebelum membeli. Lukman menyatakan bahwa sertifikasi halal tetap menjadi hak MUI. Hal ini dikarenakan halal adalah urusan syariah, sehingga hanya para ulama yang pantas mengeluarkan sertifikasinya. "Halal itu merupakan materi syariah makanya yang paling berhak untuk mengeluarkan pendapat tentang halal itu seharusnya ya ulama," ujar Lukmanul.

Menurut Lukman, pemerintah seharusnya cukup mengawasi produk-produk yang beredar di pasaran. Sedangkan sertifikasi halal tetap berada di MUI. Peran pemerintah, kata dia, hanya pada hal-hal yang sifatnya sesuai dengan hukum positif, seperti labelisasi, penegakkan hukum, sosialiasi dan edukasi kepada masyarakat. "Soal sertifikasi tetap berada di ulama," terangnya.

Menurut Lukman, MUI sebagai perwakilan dari para ulama bertanggung jawab terhadap umat, salah satunya memastikan kehalalan sebuah produk. Sejak 20 tahun terakhir sertifikasi halal juga berada di bawah MUI. Salah satu RUU yang saat ini tengah dibahas para wakil rakyat di Senayan adalah tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

Lukman mengatakan, selain parameter halal atau haram yang diatur oleh agama yang satu dan yang lain berbeda-beda. Apa yang dianggap haram bagi mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Muslim, berbeda dengan parameter haram bagi pemeluk Hindu di Bali, misalnya. "Dengan demikian, secara legal, RUU JPH tidak bisa memberi landasan yang sifatnya umum bagi seluruh agama dan keyakinan." Kata dia.

Dari aspek ekonomi, adanya kewajiban sertifikasi dan labelisasi halal dalam setiap produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika, berpotensi memicu ekonomi biaya tinggi. Sebab, tak bisa dihindari untuk memenuhi aturan itu selalu ada biaya yang harus ditanggung produsen. Pada gilirannya, beban itu pasti dilimpahkan ke harga jual.

"Produsen menengah tentu semakin terbebani dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk sertifikasi dan labelisasi produk halal, walaupun pada dasarnya produk makanan dan minuman mereka sudah memenuhi ukuran halal sebagaimana disyaratkan." Jelas dia.

Pada dasarnya, sertifikasi produk halal melalui MUI sudah berjalan baik. Namun, karena sifatnya yang sukarela, pemerintah menilai perlu ada aturan yang sifatnya mendasar untuk memberi jaminan kepada umat.


KESIMPULAN

Tulisan halal dalam aspek hukum ekonomi, Pada dasarnya, sertifikat prdoduk MUI sudah berjalan baik. Namun, karena sifatnya yang suka rela. Pemerintah perlu adanya aturan yang dihalalkan.

Sumber : http://www.globalmuslim.web.id/2011/02/mui-54-persen-makanan-yang-beredar-di.html


            Nama  :           ERMA YENI
            Npm    :           22210408
            Kelas   :           2eb19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar