BAGAIMANA
ANDA MELIHAT HUKUM DI INDONESIA
HUKUM
kita bukan hanya sakit, melainkan sudah sakit jiwa. Kata-kata itu terlontar
dari mulut teman saya yang kesal melihat hukum kita. Betapa tidak, seorang
anak yang melempar seekor burung dan mengenai kandang ayam seorang pengusaha
di Sulawesi Selatan harus berurusan dengan pengadilan.
Lagi-lagi,
masih di Sulawesi Selatan, seorang anak di bawah umur yang kedapatan membawa
besi rongsokan dilaporkan pemilik ke pengadilan dan akhirnya diadili di
pengadilan setempat. Padahal, nenek si bocah sudah meratap, menghiba memohon
si orang kaya pemilik besi rongsokan mencabut tuntutannya.
"Mudahnya
hukum kita menyeret orang tak berdaya (miskin) ke pengadilan. Sementara
anggota DPR, DPRD, yang jelas-jelas merampok uang rakyat, sulit sekali untuk
dibawa ke meja hijau," kata istri saya sedih.
Hukum
kita memang sakit jiwa ketika serentetan peristiwa remeh-temeh menjadi berita
besar, karena hakim dan jaksa bagai kerbau dicocok hidung oleh kaum borjuis
(kaya). Hati nurani mereka hilang di hadapan rupiah.
Kita
jangan lagi bicara Prita, yang harus merasakan dinginnya jeruji besi karena
keangkuhan manajemen Rumah Sakit Internasional Omni. Kita jangan lagi melihat
Nenek Minah yang harus menjalani persidangan karena emapt buah kakao seharga
Rp2.500. Dan kita jangan lagi membahas AAL, yang harus divonis bersalah
karena sendal butut polisi kita yang semakin sombong.
Saat
ini di Bandar Lampung sendiri, hakim kita tampaknya sudah keblinger oleh
profesi yang dijalani. Di mana, wartawan yang menuliskan berita di
komunikator dilarang. Ulah jadul hakim yang meminta wartawan harus menulis
pakai pena, semakin menunjukkan kampungannya hukum kita. Zaman sudah canggih
masih mengharuskan orang bekerja secara primitif.
Ironis
lagi, wartawan yang memakai jaket saat meliput sidang akan dikenakan pidana.
Sebuah kegiatan nyeleneh dari aparat peradilan yang semakin kaku
dengan dunia jurnalistik. "Padahal, mereka (hakim, jaksa, pejabat,
koruptor), dapat terkenal karena wartawan," kata teman menimpali.
sumber : http://www.lampungpost.com/nuansa/23063-hukum-kita-yang-sakit.html |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar