Minggu, 06 Mei 2012

Analisis ekspentasi inflasi, kesejahteraan petani BUSTANUL ARIFIN

PENDAHULUAN
                Inflasi merupakan masalah ekonomi di seluruh Negara. Menurut pengalaman di berbagai Negara yang mengalami inflasi adalah terlalu banyaknya jumlah uang yang beredar, kenaikan upah, krisis energi, defisit anggaran, dan masih banyak penyebab dari terjadinya inflasi.

PEMBAHASAN
Ø  Analisis  ekonomi
Selama dua dasawarsa terakhir, laju pertumbuhan produktivitas pangan strategis di Indonesia sangatlamban. Pada kurun waktu 14 tahun terakhir (1996-2010), produktivitas beras tumbuh di bawah 1 persen per tahun. Pertumbuhan produktivitas kedelai stagnan, jika tidak dikatakan negatif. Pada dekade 1990-an, produktivitas kedelai mencapai 1,7 ton per hektar, tetapi kini produktivitas kedelai hanya 1,4 ton per hektar. Pertumbuhan produktivitas tebu sangat tidak terpola, kadang tinggi sampai 6,2 ton hablur per hektar, tetapi kadang anjlok sampai di bawah 5,8 ton per hektar. Hanya jagung yang menunjukkan peningkatan produktivitas konsisten hampir dua kali lipat. Fenomena produktivitas tersebut sekaligus menunjukkan inkonsistensi pola dan sistem produksi pangan strategis di Indonesia.

Kapasitas produksi pertanian di Indonesia, selain memang rendah sejak awal, juga mengalami kelelahan sistematis karena pola budidaya, lingkungan tumbuh, dan inefisiensi skala produksi usaha tani. Petani sebagai pelaku utama memiliki keterbatasan dalam mengelola dan memodifikasi lingkungan biofisik dan sosial ekonomi sistem produksi pertanian. Petani sulit sekali untuk mampu memengaruhi lingkungan kebijakan, apalagi untuk mengubah landasan ekonomi makro, yang menentukan tingkat kesejahteraannya. Pada level kapasitas yang sama, pengaturan teknik budidaya, penanggulangan hama dan penyakit, serta pengelolaan air irigasi hanya mampu meningkatkan produksi pertanian sekadarnya. Berbeda halnya jika kapasitas produksinya ditingkatkan, apalagi jika dikombinasikan dengan langkah intensifikasi, produksi pertanian akan melompat berlipat-lipat. Kisah lonjakan produktivitas jagung di atas tidak dapat dilepaskan dari penggunaan dan adopsi benih jagung hibrida. Singkatnya, inovasi dan perubahan teknologi, termasuk pengembangan dan pemanfaatan bioteknologi pertanian, akan mampu meningkatkan kapasitas produksi dan produktivitas pertanian.

Bioteknologi pertanian, meliputi juga produk hibrida dan produk rekayasa genetika, memang diharapkan memberikan lonjakan produksi pangan yang signifikan. Dalam bahasa ekonomi, bioteknologi itu adalah perubahan teknologi yang ”mampu menggeser kurva produksi ke atas” sehingga kapasitas produksinya meningkat. Pada suatu proses yang normal, masyarakat dapat melakukan langkah penyesuaian dan keseimbangan baru sehingga menghasilkan budaya dan kelembagaan baru untuk memanfaatkan atau berinteraksi dengan produk bioteknologi. Fenomena ini mirip dengan fenomena Revolusi Hijau empat dasawarsa lalu atau perubahan teknologi biologi-kimiawi yang mampu melonjakkan produktivitas pangan. Pada waktu itu, hanya sedikit yang mampu menduga bahwa umat manusia dapat terlepas dari Jebakan Malthus (Malthusian Trap) dan minimal mampu bertahan hingga sekarang. Kini, para ilmuwan sedang mengembangkan Revolusi Hijau Generasi Kedua dengan bioteknologi pertanian dan perubahan aransemen kelembagaan yang diperlukan untuk menjawab tantangan zaman yang berubah demikian cepat.

Bioteknologi dengan modifikasi organisme atau rekayasa genetika itu sering juga disebut transgenik karena prosedurnya melibatkan perubahan struktur gen benih dan/atau bagian lain dari tanaman untuk tujuan tertentu, seperti peningkatan produksi dan produktivitas, ketahanan terhadap hama dan penyakit tanaman, perbaikan kandungan protein, serta modifikasi kandungan lemak, kolesterol, dan kualitas nutrisi lainnya. Para ilmuwan Indonesia sebenarnya telah banyak menghasilkan temuan baru varietas pangan unggul walaupun masih pada skala laboratorium dan kebun percobaan sehingga belum mampu disebarluaskan kepada masyarakat luas.

Kabinet Indonesia Bersatu menempuh langkah kebijakan promotif terhadap bioteknologi pertanian karena sejak Indonesia meratifikasi Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2004, pengembangan bioteknologi nyaris berjalan di tempat. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika juga telah memberikan rambu-rambu tegas tentang prinsip kehati-hatian dalam penyebarluasan produk rekayasa genetika. Demikian pula kelembagaan Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2010 seharusnya cukup ampuh untuk memberikan arah bagi perjalanan pengembangan bioteknologi. Di tingkat yang lebih operasional, Indonesia memiliki Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2011 tentang Pengujian, Pelepasan, dan Penarikan Varietas sebagai penyempurnaan dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 37 Tahun 2006.

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61 Tahun 2011 ini seharusnya mampu menyederhanakan birokrasi perizinan bioteknologi karena analisis mengenai dampak lingkungan, uji penanaman (budidaya), dan uji keamanan pangan terhadap varietas baru dilakukan secara paralel.
Diskusi publik terbuka selama seminggu terakhir sebenarnya lebih esensial dari sekadar persoalan administrasi birokrasi karena masyarakat khawatir terhadap dampak produk rekayasa genetika terhadap kesehatan manusia dan keamanan lingkungan hidup.

Di satu sisi, masyarakat khawatir jika produk rekayasa genetika dikembangkan di Indonesia, tetapi di sisi lain, masyarakat tampak kurang paham karena selama ini mereka telah mengonsumsi produk pangan yang mengalami modifikasi genetika, terutama kedelai impor dari Amerika Serikat.
Demikian pula masyarakat khawatir terhadap dominasi dan hegemoni perusahaan raksasa milik asing yang bermaksud mengembangkan rekayasa genetika di Indonesia. Dalam konteks ini, produk rekayasa genetika dikhawatirkan akan mengurangi kemampuan masyarakat untuk mengakses benih unggul dan bahkan meminggirkan petani atau kearifan lokal yang telah terbangun sedemikian lama.

Sebagai penutup, kinilah saatnya untuk memperbaiki komunikasi, pertukaran informasi dan edukasi yang lebih produktif ke segenap unsur akademisi, pemerintah, pebisnis, dan warga masyarakat dalam pengembangan bioteknologi.
Segenap unsur harus sering berjumpa, berdialog, dan mencari pemahaman apabila titik temu masih sulit diperoleh. Sekali lagi, diskusi terbuka adalah salah satu cara beradab untuk belajar saling menghargai pendapat semua pihak, baik yang mendukung, yang netral, maupun yang menentang pemanfaatan produk bioteknologi pertanian.

o   Elspentasi inflasi
Sebagaimana diketahui, harga eceran bahan bakar minyak bersubsidi di dalam negeri tidak jadi naik pada awal April ini. Pemerintah bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23 persen) jika kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter.
Keputusan politik yang diambil pada Jumat dini hari itu akhirnya memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi apabila harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) mengalami perubahan lebih dari 15 persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan posisi harga ICP yang telah melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah mungkin akan menaikkan harga BBM menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012 jika harga ICP tetap bertahan tinggi.
Di satu sisi, masyarakat mungkin dapat terhibur dengan keputusan politik tersebut walaupun harga kebutuhan pokok sudah berangsur naik. Namun, di sisi lain keputusan yang sebenarnya meningkatkan ekspektasi inflasi (expected inflation) justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya. Banyak analis memperkirakan laju inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1 persen walaupun musim panen padi telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini akan berada di atas 5 persen, apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan.
Telah banyak bukti teoretis dan empiris bahwa ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi tingkah laku ekonomi yang menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan inflasi naik, yang juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung menanamkan modal pada investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan pokok, karena psikologi pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil atau negatif.
Pengalaman empiris pada 2011 juga menunjukkan bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain melonjak tinggi pada Juni-Agustus, terutama karena ekspektasi inflasi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri. Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik melampaui 10 persen karena ekspektasi pedagang dan konsumen terhadap kenaikan harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini, laju inflasi diperkirakan naik juga pada rentang musim kemarau tersebut karena panen padi telah selesai. Hanya sejumlah kecil petani yang mampu melakukan penyimpanan untuk keperluan pada musim paceklik.
Pada Senin ini, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan laju inflasi bulan Februari, angka ramalan pertama produksi padi tahun 2012, dan beberapa statistik penting lainnya. Sekitar 65 persen dari produksi padi di Indonesia dihasilkan pada periode panen raya Maret-April ini dan 35 persen sisanya pada panen gadu September-Oktober. Apabila produksi gabah kering giling mampu lebih tinggi dari 65 juta ton, akan tebersit harapan baru untuk mencapai target ambisius surplus beras 10 juta ton. Demikian pula sebaliknya, apabila panen raya sekarang ini tidak menunjukkan kinerja yang spektakuler, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tampak masih jauh dari kenyataan.
Ø  kesejahteraan petani
Kalangan awam pun paham bahwa ekspektasi laju inflasi, apalagi jika disertai kenaikan harga BBM, akan menambah biaya pengeluaran masyarakat, tidak terkecuali petani. Ukuran yang paling kasar seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan memburuknya kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari 2012 tercatat 105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita petani padi (turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani hortikultura (turun 0,23 persen).
Persoalan klasik di lapangan belum dapat ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk, pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir, petani dan nelayan semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk menyambung hidup karena spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak terlalu aneh walaupun laju inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05 persen, laju inflasi di daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena semua indeks kelompok pengeluaran naik.
Tidak perlu disebut lagi bahwa penguasaan lahan petani Indonesia sangat tidak merata karena sebanyak 53 persen dari 17,8 juta rumah tangga petani padi-palawija hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang. Petani skala kecil ini benar-benar menjadi salah satu kelompok yang sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari.
Demikian pula dari 30 juta (12,5 persen) masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya adalah penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari kelompok miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, terutama beras. Artinya, peluang terjadinya kemiskinan baru sangat besar apabila masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi laju inflasi yang cukup besar, terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005 yang melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan penanganan dampak yang demikian masif.
Rencana strategi kompensasi dengan bantuan langsung sementara masyarakat sebesar Rp 150.000 per bulan mungkin menjadi hiburan secara politik, tetapi sangat jauh untuk menanggulangi dampak kesejahteraan yang ditimbulkannya. Artinya, pemerintah masih memiliki waktu yang cukup untuk secara serius menyempurnakan skema perlindungan yang memadai bagi petani, nelayan, dan kelompok miskin lain.
Demikian pula Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah mungkin menjadi panduan secara administratif bagi Perum Bulog. Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan persoalan administrasi belaka, melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan langkah pemihakan dan perhatian yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan petani dan masyarakat banyak kepada penyelenggara negara di Indonesia.

KESIMPULAN
            Dari pembahasan di atas Bustanul Arifin memerlukan langkah pemihakan dan perhatian yang memadai dari rakyat sekitanya.



http://nasional.kompas.com/red/2012/04/02/03422023.eksplektasi.inflasi.dan.kesejahteraan.petani

Nama      : ERMA YENI
Npm        : 22210408
Kelas       : 2eb19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar